Thursday, January 25, 2007

Mustofa Bisri : Dzikir dan Sufi

Sumber :
http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=603


Oleh: A. Mustofa Bisri

Secara bahasa, dzikir bermula dzakara, yadzkuru, dzukr/dzikr, merupakan perbuatan dengan lisan (menyebutkan atau menuturkan) atau dan dengan hati (mengingat/ menyebut dan mengingat). Ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi) saja yang bisa berarti pekerjaan hati dan lisan, sedang dzikr (bilkasri) khusus pekerjaan lisan.

Dalam peristilahan kata, dzikr tidak terlalujauh pengertian-nya dengan makna-makna lughawinya semula. Bahkan kamus-kamus moderen seperti Al-Munjid, Al-Munawir, At-Qamus al-Ashri dan sebagainya, sudah pula menggunakan pengertian-pengertian istilah seperti adz-dzikr = membaca tasbih, mengagungkan Allah dan seterusnya.

Pengertian-pengertian ini semua dapat dilihat di banyak lafal dzikr yang dituturkan dalam Al-Qur'an. Bahkan seringkali pengertian dzikr (dalam berbagai shieghatnya) dalam kitab suci itu merupakan cakupan dari makna-makna lughawinya sekaligus. Dalam kitab Al-Adzkaar-nya. yang terkenal itu, Imam Nawawi (631-676 H.), menyebutkan: "Dzikir itu bisa dengan hati,
bisa dengan lisan. Dan yang terbaik adalah yang dengan hati dan dengan lisan sekaligus. Kalau harus memilih antara keduanya, maka dzikir dengan hati saja lebih baik dari dzikir dengan lisan saja."

Dalam perkembangannya, dzikir kepada Allah tidak hanya dibatasi sebagai bacaan-bacaan mulia tuntunan Nabi saw. (dzikir ma'tsur) dalam waktu-waktu tertentu seperti diajarkan dalam kitab-kitab semacam Al-Adzkar -nya Imam Nawawi, Al-Ghaniyah-nyz Syekh Abdul Qadir Jaelany, Shahih al-Kalimath Thayyib li Syekh al-Islam Ibn Taimiyah-nya, Muhammad Nashiruddin Albany dan sebagainya. Namun juga diartikan sebagai "ingat Allah" dalam segala gerak
tingkah laku, bahkan dalam tarikan dan hembusan nafas hamba.

Sementara itu, orang arif mengatakan, "Barangsiapa yang ketika mendapatkan kenikmatan melihat Sang Pemberi Nikmat, tidak kepada kenikmatan itu sendiri, ketika mendapat cobaan pun yang dilihat hanyalah Sang Pencoba, bukan cobaan itu sendiri. Maka dalam segala kondisi dia tenggelam dalam memperhatikan dan melihat Al-Haq, menghadap Sang Kekasih. Inilah tingkat kebahagiaan yang tertinggi."

Sebenarnya dengan "dzikir ma'tsur" dari Rasul saw. seperti dapat dipelajari dari semisal kitab-kitab yang sudah disebutkan tadi, kiranya lebih dari cukup membuat seorang hamba ? jika mengamalkan secara benar ? tidak sempat berpaling dari Khaliqnya. Bayangkan, tuntunan dzikir itu mencakup dzikir sejak bangun tidur hingga akan tidur lagi. Namun barangkali masalahnya justru kesibukan manusia moderen dan kepintarannyalah yang lambat laun
membuat "dzikir ma'tsur" itu seolah-olah terlupakan. Boleh jadi, mula-mula memang ada orang yang hanya komat-kamit mementingkan bacaan dzikir, tanpa penghayatan dan pengingatan maknanya. Lalu pemeluk teguh yang mcnginginkan kesempurnaan secara mubalaghah menyatakan tak ada gunanya komat-kamit saja. Kemudian orang malas ikut-ikutan bukan hanya berkata, "Ya tak ada gunanya komat-kamit saja," tapi, "Tak ada gunanya komat-kamit!"

Semua orang yang merambah jalan Allah (Ahlu tharieq Allah) sepakat bahwa dzikir merupakan kunci pintu gerbang Allah dan pembuka sekat kegaiban, penarik kebaikan-kebaikan dan pelipur keterasingan. la'merupakan pancaran wilayah dan pendorong kepada ma'rifat Allah. (Baca misalnya Jamharat al-Auliyaa, 1/88). Dzikir tidak tergantung pada waktu dan tempat. Firman
Allah: "Orang-orang yang berdzikir mengingat Allah seraya berdiri, duduk, atau berbaring serta bertafakkur mengenai kejadian langit dan bumi; (kata mereka): Ya Tuhan kami, Paduka tidak menciptakan ini sia-sia, Maha Suci Paduka, maka lindungilah kami dari siksa neraka." ( Q.s. Ali Imran: 191).

Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw. bersabda, "Menang orang-orang mufarrad." Para sahabat bertanya: "Siapa itu para mufarrad-?. Rasulullah saw. menjawab, "Mereka, para laki-laki dan wanita, yang banyak berdzikir kepada Allah." Dalam hadis lain, juga riwayat Imam Muslim, dari sahabat Abu Sa'id al-Khudry dan Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda, "Tiadalah suatu kaum berdzikir kepada Allah
Ta'ala melainkan para Malaikat akan mengelilinginya, rahmat Allah akan melimpahinya, kedamaian turun kepadanya, dan Allah mennturkannya kepada mereka yang berada di sisi-Nya."

Istilah sufi ada yang mengatakan bermula dari shafa, nama bukit terkenal di Mekkah. Ada yang mengatakan bermula dari sliafaa' yang berarti jernih. Ada yang mengatakan bermula dari siiffah. Seperti diketahui, ada kelompok sahabat Nabi yang fakir yang tinggal di masjid dan disebut ahlussuffah. Ada yang bilang bermula dari ash-Shaf al-Aival, barisan pertama dalam salat berjamaah. Bahkan ada yang berpendapat, bermula dari kata Yunani sofia, yang berarti hikmah atau kebijaksanaan.

Namun semua itu dari segi kaidah bahasa tidak cocok. Semua kata itu tidak dapat dinisbatkan menjadi shufi atau sufi. Karena itu kebanyakan ulama, termasuk kalangan tasawwuf sendiri, cenderung berpendapat bahwa kata itu bermula dari shuuf, yang berarti bulu. Seperti diketahui, para fakir yang meng-khususkan dirinya untuk Allah, mempunyai kebiasaan berpakaian sangat
sederhana dari bulu domba. Dan ini kemudian menjadi cirinya. Jadi tashawwafa-yatashawwafa-tasawwuf, artinya semula orang yang berpakaian bulu. Seperti takhattama, artinya orang yang memakai cincin. Sedangkan dari istilah, kita menjumpai banyak definisi dibuat orang. Dan seringkali apa yang discbut definisi itu hanya merupakan ungkapan-ungkapan irsyadiyah.

Di dalam Kitab at-Ta'riefaat oleh All bin Muhammad as-Syarief al-Jurjani, tasawwuf dita'rifkan sebagai: "Menetapi etika-etika agama secara lahiriah sehingga ketetapannya di batin terlihat dari luar dan secara batiniah, sehingga ketetapannya di luar dapat terlihat dari dalam." Kemudian diterangkan pendapat-pendapat orang tentang tasawwuf yang antara lain
adalah:

  • Aliran yang keseluruhannya kesungguhan tanpa dicampuri main-main sedikit pun;
  • Membersihkan hati dari menuruti kemanusiaan, meninggalkan perangai-perangai kodrati, mengubur sifat-sifat manusiawi, mcnjauhi ajakan-ajakan nafsu, menempati sifat-sifat ruhani, bergantung kepada ilmu-ilmu hakikat, melakukan hal-hal yang lebih baik bagi keabadian, berbuat baik kepada segenap ummat, patuh kepada Allah secara benar, dan mengikuti ajaran dan Sunnah Rasul saw;
  • Meninggalkan ikhtiar;
  • Mencurahkan segala kesungguhan dan berbahagia dengan Tuhan yang disembah;
  • Berpaling dari penolakan;
  • Kejernihan muamalah dengan Allah dan pokoknya adalah meninggalkan dunia;
  • Sabar di bawah perintah dan larangan;
  • Berpegang pada hakikat, berbicara mengenai yang lembut-lembut, dan memutuskan harapan terhadap apa yang di tangan makhluk.

Dalam kitab-kitab mengenai tokoh-tokoh sufi bisa dijumpai banyak sekali ungkapan-ungkapan ringkas, padat, laiknya kata-kata hikmah mengenai tasawwuf atau sufi dalam rangka menerangkan definisinya secara ilmiah. Tapi mengutarakan saripatinya sesuai pandangan penghayatan mereka masing-masing. Seperti kita ketahui dan yakini, manusia semula (Adam as) diciptakan Allah dari tanah liat (Q.s. 6: 2, 7: 12, 23:13, 37: 11, 38: 71, 17: 61). Menurut beberapa mufassir, ada selang waktu cukup lama sebelum bentuk manusia yang bermaterikan tanah liat itu benar-benar menjadi manusia yang ber-ruh. Sebelumnya diberi ruh Allah, seperti difirmankan Allah di awal Surat Al-Insan, ia sekadar materi yang bukan apa-apa. "Lam yakun syaian madzknuran," belum merupakan sesuatu yang pantas disebut. Baru setelah Allah memberinya ruh dan melengkapinya dengan pendengaran, penglihatan dan af-idah (yang mampu dengannya menerima "ajaran Allah"), dia bisa disebut manusia sejati. Khalifah Allah yang kemudian diperkcnalkan kepada para Malaikat dan iblis untuk disembah-hormati atas perintah-Nya.

Semua menyembah Adam kecuali iblis. Karena semuanya hanya melihat Allah dan perintah-Nya. Sedang iblis, satu-satunya yang menolak, hanya melihat materi. "Aku lebih baik daripada Adam, Engkau nienciptakniku dari api dan menciptakannya dariitanah liat." ( Q.s. 7: 2). Iblis melihat materi dirinya berupa api jauh lebih baik dari materi Adam yang berupa tanah liat. Bila
mengingat materi, barangkali manusia setelah Adam akan terlihat jauh lebih rendah lagi. Karena hanya terdiri dari nuthfah amsyaaj, mani yangbercampur ( Q.s. 76: 2).

Dari tanah liat atau dari nuthfah amsyaaj, kehidupan manusia adalah ketika Allah sudah meniupkan ruh dari-Nya. Ketika itulah kelengkapan materi manusia yang kemudian disebut jasad menjadi hidup dan berfungsi. Ruh inilah yang memungkinkan manusia "berkomunikasi" dan "berkonsultasi" dengan Sang Penciptanya Yang Maha Agung dan Maha Lembut. Ruh inilah yang sejak semula berikrar mengakui Tuhannya dan mengakui kehambaannya.

Karena itu menurut kalangan tasawwuf, ruh yang berasal dari alam arwah itulah hakikat manusia. Sedang jasad yang berasal dari alam al-Khalaq, penciptaan, sekadar kendaraannya. Ruh bersifat dan berhubungan dengan cahaya, sedangkan jasad bersifat dan berhubungan dengan materi. Orang yang hanya melihat materi, seperti iblis, akan lupa atau mengabaikan Tuhannya padahal ada di hadapannya. Dan dia akan merugi selamanya. Sebaliknya orang
yang hanya melihat Allah, seperti para Malaikat, akan lupa atau mengabaikan dunia yang materi ini. Dan dia akan abadi dalam kebahagiaan. Untuk menjadi yang terakhir inilah orang-orang tasawwuf bermujahadah melawan dirinya sendiri, godaan setan dan gemerlap dunia.

SHALAT - MI'RAJ AL-MU'MININ

1. An nafs al-hayawaniyyah

An nafs al-hayawaniyah adalah bagian dari keakuan kita. Secara naluriah ia dikodratkan untuk selalu ingkar kepada titah Sang Pencipta / Al Khaliq. Ia adalah pengejawantahan dari Sang Iblis yang tubuhnya mengandung racun yang ganas yang disebut kebodohan / al-umniyah dan angan-angan / al-wahm. Racun yang akan membuat siapa pun yang terkena akan kehilangan kesadaran, terseret dalam imajinasi nirwujud / al-mumtani? yang membuat seseorang sesat / al-idhlal dalam memaknai segala sesuatu.

Ia beribadah dengan cara menjalankan titah Yang Maha Menyesatkan / Al-Mudhill, yakni menggoda orang-orang beriman / qaum al-mu'minin agar tergelincir dari jalan lurus / shirat yang menuju ke istana Sang Pemberi Keamanan / Al-Mu'min agar jatuh ke jurang kehinaan Al-Mudzill yang sangat pedih.

2. An nafs al-ammarrah 'al-Islam

An nafs al ammarrah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan cara berdiri / qiyam. Ia perlambang api yang secara kodrati selalu naik dengan arah tegak lurus.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah al Islam, yakni tangga pengetahuan tingkat pertama.

Secara naluriah ia cenderung mengajak kepada perbuatan jahat. Ia sangat bangga dengan nama besar dan identitas diri. Ia melakukan sesuatu karena dilandasi dengan pamrih ingin dipuji dan ingin merasakan kenikmatan badani maupun ruhani.

3. An nafs al-lawwammah

An nafs al lawwammah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan cara merunduk / ruku'. Ia perlambang tanah yang secara kudrati manyamping datar.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah al Iman, yakni tangga pengetahuan tingkat kedua.

Ia cenderung suka mengaku-aku kehebatan diri dan mencela orang lain atau sebaliknya mencela diri dan memuji orang lain. Pengetahuannya masih sebatas mendengar, keyakinannya masih sebatas di mulut. Sekali waktu ketika ia mengarahkan pandangan ke dalam dirinya ia akan mencela dirinya sendiri dan menemukan kebijaksanaan berlimpah di dalamnya. Tetapi saat ia mengarahkan pandangan keluar dirinya ia cenderung mencela orang lain. Ia sangat bangga dengan amaliah perbuatannya.

4. An nafs al-mulhammah

An nafs al mulhammah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan cara berdiri / i'tidal. Ia perlambang air yang secara kodrati turun dengan arah tegak lurus.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah al-ihsan, yakni tangga pengetahuan tingkat ketiga.

Ia adalah kesadaran jiwa yang sudah dapat merasakan perbedaan nuansa kebenaran dan kebatilan. Ia mampu menangkap sarana yang bisa mengantar ke samudera kebahagiaan. Ia dapat membedakan ilham kefasikan dan ketakwaan yang masuk ke dalam hatinya. Tetapi ia seringkali kurang waspada dan terseret ke dalam lingkaran ilham kefasikan. Jiwa ini di dalam melakukan perjalanan ruhani berada di bawah pengawasan Allah.

5. An nafs al-muthma'innah

An nafs al muthma'innah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan bersujud / sujjud awwal. Ia perlambang udara yang secara kodrati melingkupi kehidupan di muka bumi.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah 'ilm al-yaqin, yakni tangga pengetahuan tingkat keempat.

Ia adalah jiwa yang tenang karena kedudukannya berada di tengah-tengah antara nafs dan ruh. Jiwa ini dalam melakukan perjalanan ruhani berada bersama Allah. Ia masih memiliki kecenderungan untuk tertarik pada suara-suara keindahan yang terdengar dari taman surgawi pancaran Al Jamal.

6. An nafs al-ar radhiyyah

An nafs ar radhiyyah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan duduk / jalsah awwal. Ia perlambang aether.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah 'ain al-yaqin, yakni tangga pengetahuan tingkat kelima.

Jiwa ini dalam melakukan perjalanan ruhani berada di dalam Allah. Jiwa ini tenggelam di dalam pengetahuan Allah. Ia adalah jiwa yang sudah berada di dalam keyakinan sempurna atas kehambaan dirinya dan keIlahian Rabb-nya.

7. An nafs al-mardhiyyah

An nafs al mardhiyyah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan bersujud / sujjud tsani. Ia perlambang cahaya yang dipancarkan dari matahari, bulan, bintang ke permukaan bumi.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah haqq al-yaqin, yaitu tangga pengetahuan tingkat keenam.

Ia adalah jiwa yang diridhai Allah. Ia menyaksikan kebenaran Tuhan dengan Tuhan / 'araftu Rabbi bi Rabbi. Ia jiwa yang terbang bebas memuji Keagungan dan Kebesaran Yang Maha Benar. Dalam kelana jiwanya yang bebas, ia selalu pemuja Penciptanya dengan suara Kebenaran.

8. An nafs al-kamilah / An nafs al-qaddisah

An nafs al-kamilah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan duduk / jalsah tsani. Itulah lambang al haba / atom.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah al Islam, yaitu tangga pengetahuan tingkat ketujuh.

Inilah tahap terakhir perkembangan jiwa menuju Jiwa. Inilah tahap puncak perkembangan aku menuju Aku. Inilah jiwa yang disucikan / an nafs al-qaddisah.


Mereka yang sudah memahami rahasia ini, menjadikan shalat sebagai sebuah proses kenaikan / mi'raj kesadaran dari anak tangga pertama kemajemukan / katsrah melampaui lima tahap kehadiran / al hadharat dan berakhir pada anak tangga ketujuh : Kesatuan Tauhid. Inilah yang dimaksud Nabi Muhammad saw dengan ucapan, shalat itu mi'raj bagi orang-orang beriman / ash shalat al-mi'raj al-mu'minin, yaitu proses terlampauinya tangga pengetehuan Islam /
Iman / Ihsan / 'Ilm al-Yaqin / 'Ain al-Yaqin / Haqq al-Yaqin / Islam.

Dengan demikian akhir sebuah shalat adalah salam. Salam dari As-Salam / Yang Memberi Kedamaian.