Thursday, January 25, 2007

Mustofa Bisri : Dzikir dan Sufi

Sumber :
http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=603


Oleh: A. Mustofa Bisri

Secara bahasa, dzikir bermula dzakara, yadzkuru, dzukr/dzikr, merupakan perbuatan dengan lisan (menyebutkan atau menuturkan) atau dan dengan hati (mengingat/ menyebut dan mengingat). Ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi) saja yang bisa berarti pekerjaan hati dan lisan, sedang dzikr (bilkasri) khusus pekerjaan lisan.

Dalam peristilahan kata, dzikr tidak terlalujauh pengertian-nya dengan makna-makna lughawinya semula. Bahkan kamus-kamus moderen seperti Al-Munjid, Al-Munawir, At-Qamus al-Ashri dan sebagainya, sudah pula menggunakan pengertian-pengertian istilah seperti adz-dzikr = membaca tasbih, mengagungkan Allah dan seterusnya.

Pengertian-pengertian ini semua dapat dilihat di banyak lafal dzikr yang dituturkan dalam Al-Qur'an. Bahkan seringkali pengertian dzikr (dalam berbagai shieghatnya) dalam kitab suci itu merupakan cakupan dari makna-makna lughawinya sekaligus. Dalam kitab Al-Adzkaar-nya. yang terkenal itu, Imam Nawawi (631-676 H.), menyebutkan: "Dzikir itu bisa dengan hati,
bisa dengan lisan. Dan yang terbaik adalah yang dengan hati dan dengan lisan sekaligus. Kalau harus memilih antara keduanya, maka dzikir dengan hati saja lebih baik dari dzikir dengan lisan saja."

Dalam perkembangannya, dzikir kepada Allah tidak hanya dibatasi sebagai bacaan-bacaan mulia tuntunan Nabi saw. (dzikir ma'tsur) dalam waktu-waktu tertentu seperti diajarkan dalam kitab-kitab semacam Al-Adzkar -nya Imam Nawawi, Al-Ghaniyah-nyz Syekh Abdul Qadir Jaelany, Shahih al-Kalimath Thayyib li Syekh al-Islam Ibn Taimiyah-nya, Muhammad Nashiruddin Albany dan sebagainya. Namun juga diartikan sebagai "ingat Allah" dalam segala gerak
tingkah laku, bahkan dalam tarikan dan hembusan nafas hamba.

Sementara itu, orang arif mengatakan, "Barangsiapa yang ketika mendapatkan kenikmatan melihat Sang Pemberi Nikmat, tidak kepada kenikmatan itu sendiri, ketika mendapat cobaan pun yang dilihat hanyalah Sang Pencoba, bukan cobaan itu sendiri. Maka dalam segala kondisi dia tenggelam dalam memperhatikan dan melihat Al-Haq, menghadap Sang Kekasih. Inilah tingkat kebahagiaan yang tertinggi."

Sebenarnya dengan "dzikir ma'tsur" dari Rasul saw. seperti dapat dipelajari dari semisal kitab-kitab yang sudah disebutkan tadi, kiranya lebih dari cukup membuat seorang hamba ? jika mengamalkan secara benar ? tidak sempat berpaling dari Khaliqnya. Bayangkan, tuntunan dzikir itu mencakup dzikir sejak bangun tidur hingga akan tidur lagi. Namun barangkali masalahnya justru kesibukan manusia moderen dan kepintarannyalah yang lambat laun
membuat "dzikir ma'tsur" itu seolah-olah terlupakan. Boleh jadi, mula-mula memang ada orang yang hanya komat-kamit mementingkan bacaan dzikir, tanpa penghayatan dan pengingatan maknanya. Lalu pemeluk teguh yang mcnginginkan kesempurnaan secara mubalaghah menyatakan tak ada gunanya komat-kamit saja. Kemudian orang malas ikut-ikutan bukan hanya berkata, "Ya tak ada gunanya komat-kamit saja," tapi, "Tak ada gunanya komat-kamit!"

Semua orang yang merambah jalan Allah (Ahlu tharieq Allah) sepakat bahwa dzikir merupakan kunci pintu gerbang Allah dan pembuka sekat kegaiban, penarik kebaikan-kebaikan dan pelipur keterasingan. la'merupakan pancaran wilayah dan pendorong kepada ma'rifat Allah. (Baca misalnya Jamharat al-Auliyaa, 1/88). Dzikir tidak tergantung pada waktu dan tempat. Firman
Allah: "Orang-orang yang berdzikir mengingat Allah seraya berdiri, duduk, atau berbaring serta bertafakkur mengenai kejadian langit dan bumi; (kata mereka): Ya Tuhan kami, Paduka tidak menciptakan ini sia-sia, Maha Suci Paduka, maka lindungilah kami dari siksa neraka." ( Q.s. Ali Imran: 191).

Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw. bersabda, "Menang orang-orang mufarrad." Para sahabat bertanya: "Siapa itu para mufarrad-?. Rasulullah saw. menjawab, "Mereka, para laki-laki dan wanita, yang banyak berdzikir kepada Allah." Dalam hadis lain, juga riwayat Imam Muslim, dari sahabat Abu Sa'id al-Khudry dan Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda, "Tiadalah suatu kaum berdzikir kepada Allah
Ta'ala melainkan para Malaikat akan mengelilinginya, rahmat Allah akan melimpahinya, kedamaian turun kepadanya, dan Allah mennturkannya kepada mereka yang berada di sisi-Nya."

Istilah sufi ada yang mengatakan bermula dari shafa, nama bukit terkenal di Mekkah. Ada yang mengatakan bermula dari sliafaa' yang berarti jernih. Ada yang mengatakan bermula dari siiffah. Seperti diketahui, ada kelompok sahabat Nabi yang fakir yang tinggal di masjid dan disebut ahlussuffah. Ada yang bilang bermula dari ash-Shaf al-Aival, barisan pertama dalam salat berjamaah. Bahkan ada yang berpendapat, bermula dari kata Yunani sofia, yang berarti hikmah atau kebijaksanaan.

Namun semua itu dari segi kaidah bahasa tidak cocok. Semua kata itu tidak dapat dinisbatkan menjadi shufi atau sufi. Karena itu kebanyakan ulama, termasuk kalangan tasawwuf sendiri, cenderung berpendapat bahwa kata itu bermula dari shuuf, yang berarti bulu. Seperti diketahui, para fakir yang meng-khususkan dirinya untuk Allah, mempunyai kebiasaan berpakaian sangat
sederhana dari bulu domba. Dan ini kemudian menjadi cirinya. Jadi tashawwafa-yatashawwafa-tasawwuf, artinya semula orang yang berpakaian bulu. Seperti takhattama, artinya orang yang memakai cincin. Sedangkan dari istilah, kita menjumpai banyak definisi dibuat orang. Dan seringkali apa yang discbut definisi itu hanya merupakan ungkapan-ungkapan irsyadiyah.

Di dalam Kitab at-Ta'riefaat oleh All bin Muhammad as-Syarief al-Jurjani, tasawwuf dita'rifkan sebagai: "Menetapi etika-etika agama secara lahiriah sehingga ketetapannya di batin terlihat dari luar dan secara batiniah, sehingga ketetapannya di luar dapat terlihat dari dalam." Kemudian diterangkan pendapat-pendapat orang tentang tasawwuf yang antara lain
adalah:

  • Aliran yang keseluruhannya kesungguhan tanpa dicampuri main-main sedikit pun;
  • Membersihkan hati dari menuruti kemanusiaan, meninggalkan perangai-perangai kodrati, mengubur sifat-sifat manusiawi, mcnjauhi ajakan-ajakan nafsu, menempati sifat-sifat ruhani, bergantung kepada ilmu-ilmu hakikat, melakukan hal-hal yang lebih baik bagi keabadian, berbuat baik kepada segenap ummat, patuh kepada Allah secara benar, dan mengikuti ajaran dan Sunnah Rasul saw;
  • Meninggalkan ikhtiar;
  • Mencurahkan segala kesungguhan dan berbahagia dengan Tuhan yang disembah;
  • Berpaling dari penolakan;
  • Kejernihan muamalah dengan Allah dan pokoknya adalah meninggalkan dunia;
  • Sabar di bawah perintah dan larangan;
  • Berpegang pada hakikat, berbicara mengenai yang lembut-lembut, dan memutuskan harapan terhadap apa yang di tangan makhluk.

Dalam kitab-kitab mengenai tokoh-tokoh sufi bisa dijumpai banyak sekali ungkapan-ungkapan ringkas, padat, laiknya kata-kata hikmah mengenai tasawwuf atau sufi dalam rangka menerangkan definisinya secara ilmiah. Tapi mengutarakan saripatinya sesuai pandangan penghayatan mereka masing-masing. Seperti kita ketahui dan yakini, manusia semula (Adam as) diciptakan Allah dari tanah liat (Q.s. 6: 2, 7: 12, 23:13, 37: 11, 38: 71, 17: 61). Menurut beberapa mufassir, ada selang waktu cukup lama sebelum bentuk manusia yang bermaterikan tanah liat itu benar-benar menjadi manusia yang ber-ruh. Sebelumnya diberi ruh Allah, seperti difirmankan Allah di awal Surat Al-Insan, ia sekadar materi yang bukan apa-apa. "Lam yakun syaian madzknuran," belum merupakan sesuatu yang pantas disebut. Baru setelah Allah memberinya ruh dan melengkapinya dengan pendengaran, penglihatan dan af-idah (yang mampu dengannya menerima "ajaran Allah"), dia bisa disebut manusia sejati. Khalifah Allah yang kemudian diperkcnalkan kepada para Malaikat dan iblis untuk disembah-hormati atas perintah-Nya.

Semua menyembah Adam kecuali iblis. Karena semuanya hanya melihat Allah dan perintah-Nya. Sedang iblis, satu-satunya yang menolak, hanya melihat materi. "Aku lebih baik daripada Adam, Engkau nienciptakniku dari api dan menciptakannya dariitanah liat." ( Q.s. 7: 2). Iblis melihat materi dirinya berupa api jauh lebih baik dari materi Adam yang berupa tanah liat. Bila
mengingat materi, barangkali manusia setelah Adam akan terlihat jauh lebih rendah lagi. Karena hanya terdiri dari nuthfah amsyaaj, mani yangbercampur ( Q.s. 76: 2).

Dari tanah liat atau dari nuthfah amsyaaj, kehidupan manusia adalah ketika Allah sudah meniupkan ruh dari-Nya. Ketika itulah kelengkapan materi manusia yang kemudian disebut jasad menjadi hidup dan berfungsi. Ruh inilah yang memungkinkan manusia "berkomunikasi" dan "berkonsultasi" dengan Sang Penciptanya Yang Maha Agung dan Maha Lembut. Ruh inilah yang sejak semula berikrar mengakui Tuhannya dan mengakui kehambaannya.

Karena itu menurut kalangan tasawwuf, ruh yang berasal dari alam arwah itulah hakikat manusia. Sedang jasad yang berasal dari alam al-Khalaq, penciptaan, sekadar kendaraannya. Ruh bersifat dan berhubungan dengan cahaya, sedangkan jasad bersifat dan berhubungan dengan materi. Orang yang hanya melihat materi, seperti iblis, akan lupa atau mengabaikan Tuhannya padahal ada di hadapannya. Dan dia akan merugi selamanya. Sebaliknya orang
yang hanya melihat Allah, seperti para Malaikat, akan lupa atau mengabaikan dunia yang materi ini. Dan dia akan abadi dalam kebahagiaan. Untuk menjadi yang terakhir inilah orang-orang tasawwuf bermujahadah melawan dirinya sendiri, godaan setan dan gemerlap dunia.

SHALAT - MI'RAJ AL-MU'MININ

1. An nafs al-hayawaniyyah

An nafs al-hayawaniyah adalah bagian dari keakuan kita. Secara naluriah ia dikodratkan untuk selalu ingkar kepada titah Sang Pencipta / Al Khaliq. Ia adalah pengejawantahan dari Sang Iblis yang tubuhnya mengandung racun yang ganas yang disebut kebodohan / al-umniyah dan angan-angan / al-wahm. Racun yang akan membuat siapa pun yang terkena akan kehilangan kesadaran, terseret dalam imajinasi nirwujud / al-mumtani? yang membuat seseorang sesat / al-idhlal dalam memaknai segala sesuatu.

Ia beribadah dengan cara menjalankan titah Yang Maha Menyesatkan / Al-Mudhill, yakni menggoda orang-orang beriman / qaum al-mu'minin agar tergelincir dari jalan lurus / shirat yang menuju ke istana Sang Pemberi Keamanan / Al-Mu'min agar jatuh ke jurang kehinaan Al-Mudzill yang sangat pedih.

2. An nafs al-ammarrah 'al-Islam

An nafs al ammarrah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan cara berdiri / qiyam. Ia perlambang api yang secara kodrati selalu naik dengan arah tegak lurus.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah al Islam, yakni tangga pengetahuan tingkat pertama.

Secara naluriah ia cenderung mengajak kepada perbuatan jahat. Ia sangat bangga dengan nama besar dan identitas diri. Ia melakukan sesuatu karena dilandasi dengan pamrih ingin dipuji dan ingin merasakan kenikmatan badani maupun ruhani.

3. An nafs al-lawwammah

An nafs al lawwammah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan cara merunduk / ruku'. Ia perlambang tanah yang secara kudrati manyamping datar.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah al Iman, yakni tangga pengetahuan tingkat kedua.

Ia cenderung suka mengaku-aku kehebatan diri dan mencela orang lain atau sebaliknya mencela diri dan memuji orang lain. Pengetahuannya masih sebatas mendengar, keyakinannya masih sebatas di mulut. Sekali waktu ketika ia mengarahkan pandangan ke dalam dirinya ia akan mencela dirinya sendiri dan menemukan kebijaksanaan berlimpah di dalamnya. Tetapi saat ia mengarahkan pandangan keluar dirinya ia cenderung mencela orang lain. Ia sangat bangga dengan amaliah perbuatannya.

4. An nafs al-mulhammah

An nafs al mulhammah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan cara berdiri / i'tidal. Ia perlambang air yang secara kodrati turun dengan arah tegak lurus.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah al-ihsan, yakni tangga pengetahuan tingkat ketiga.

Ia adalah kesadaran jiwa yang sudah dapat merasakan perbedaan nuansa kebenaran dan kebatilan. Ia mampu menangkap sarana yang bisa mengantar ke samudera kebahagiaan. Ia dapat membedakan ilham kefasikan dan ketakwaan yang masuk ke dalam hatinya. Tetapi ia seringkali kurang waspada dan terseret ke dalam lingkaran ilham kefasikan. Jiwa ini di dalam melakukan perjalanan ruhani berada di bawah pengawasan Allah.

5. An nafs al-muthma'innah

An nafs al muthma'innah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan bersujud / sujjud awwal. Ia perlambang udara yang secara kodrati melingkupi kehidupan di muka bumi.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah 'ilm al-yaqin, yakni tangga pengetahuan tingkat keempat.

Ia adalah jiwa yang tenang karena kedudukannya berada di tengah-tengah antara nafs dan ruh. Jiwa ini dalam melakukan perjalanan ruhani berada bersama Allah. Ia masih memiliki kecenderungan untuk tertarik pada suara-suara keindahan yang terdengar dari taman surgawi pancaran Al Jamal.

6. An nafs al-ar radhiyyah

An nafs ar radhiyyah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan duduk / jalsah awwal. Ia perlambang aether.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah 'ain al-yaqin, yakni tangga pengetahuan tingkat kelima.

Jiwa ini dalam melakukan perjalanan ruhani berada di dalam Allah. Jiwa ini tenggelam di dalam pengetahuan Allah. Ia adalah jiwa yang sudah berada di dalam keyakinan sempurna atas kehambaan dirinya dan keIlahian Rabb-nya.

7. An nafs al-mardhiyyah

An nafs al mardhiyyah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan bersujud / sujjud tsani. Ia perlambang cahaya yang dipancarkan dari matahari, bulan, bintang ke permukaan bumi.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah haqq al-yaqin, yaitu tangga pengetahuan tingkat keenam.

Ia adalah jiwa yang diridhai Allah. Ia menyaksikan kebenaran Tuhan dengan Tuhan / 'araftu Rabbi bi Rabbi. Ia jiwa yang terbang bebas memuji Keagungan dan Kebesaran Yang Maha Benar. Dalam kelana jiwanya yang bebas, ia selalu pemuja Penciptanya dengan suara Kebenaran.

8. An nafs al-kamilah / An nafs al-qaddisah

An nafs al-kamilah secara naluriah dikodratkan memuja dan menyembah Penciptanya dengan duduk / jalsah tsani. Itulah lambang al haba / atom.

Inilah tingkatan anak tangga ruhani yang disebut dengan istilah al Islam, yaitu tangga pengetahuan tingkat ketujuh.

Inilah tahap terakhir perkembangan jiwa menuju Jiwa. Inilah tahap puncak perkembangan aku menuju Aku. Inilah jiwa yang disucikan / an nafs al-qaddisah.


Mereka yang sudah memahami rahasia ini, menjadikan shalat sebagai sebuah proses kenaikan / mi'raj kesadaran dari anak tangga pertama kemajemukan / katsrah melampaui lima tahap kehadiran / al hadharat dan berakhir pada anak tangga ketujuh : Kesatuan Tauhid. Inilah yang dimaksud Nabi Muhammad saw dengan ucapan, shalat itu mi'raj bagi orang-orang beriman / ash shalat al-mi'raj al-mu'minin, yaitu proses terlampauinya tangga pengetehuan Islam /
Iman / Ihsan / 'Ilm al-Yaqin / 'Ain al-Yaqin / Haqq al-Yaqin / Islam.

Dengan demikian akhir sebuah shalat adalah salam. Salam dari As-Salam / Yang Memberi Kedamaian.

Sunday, November 26, 2006

Frank Lloyd Wright


Frank Lloyd Wright (FLW) merupakan salah seorang pioneer arsitektur modern, lebih tepatnya adalah seorang master dari organic architecture. Istilah modern dalam dunia arsitektur beda dengan istilah modern dalam bahasa sehari-hari. Modern dalam bahasa sehari-hari adalah sesuatu yang terkini dan mutakhir, kategori modern adalah segala hal yang pemunculannya dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir dan beberapa dekade yang akan datang. Sedangkan jauh sebelum itu akan dianggap suatu yang sudah ndak modern lagi alias kuno. Nah, yang namanya arsitektur modern justru dimulai pada tahun 1900-an, sampai kapanpun karya arsitektur yang dimulai pada tahun-tahun tersebut teteup disebut sebagai arsitektur modern. Lha, kalo karya arsitektur yang dibuat 10 tahun terakhir dan tahun-tahun yang akan datang disebutnya opo? Sekarang ini banyak banget style atau trend yang dimunculkan dalam dunia arsitektur, tapi mulai tahun 1950-an mulai diperkenalkan yang namanya post-modernism architecture. Dalam arsitektur modern dimana "ornament is a crime" dengan "form-follow-function"-nya sudah tidak lagi dianut dalam arsitektur post-modern. Disini ornament sudah di-'halal'-kan dan merupakan suatu nilai lebih dan aksen dalam setiap karya arsitektur modern.

Weleh, kok malah mbahas tentang sejarah arsitektur ki piye tho? lha wong tadi maksudnya nulis tentang FLW kok malah mblangkrak kemana-mana. Wis, sekarang saya mau cerita tentang FLW dan karya-nya yang memberikan inspirasi dalam setiap karya-karya arsitektur saya yang sebetulnya ndak seberapa banyak dan juga ndak persis-persis banget sama karya arsitektur FLW. Tapi yang memberikan inspirasi dalam setiap karya FLW adalah bagaimana cara beliau memaksimalkan fungsi ruang, ornamen, dan lingkungan sekitarnya. Seperti karya arsitekturnya yang fenomenal yaitu The Falling Water, dalam karya ini FLW memaksimalkan ruang yang ada dan meminimalkan perusakan tapak atau site.

Terus, opo hubungan-e sama karya arsitektur yang telah dan akan saya buat? Nahh, gini ceritanya; dalam hal desain-mendesain sebetulnya saya ini termasuk orang yang boros akan ornamen. Jadi saya jelas bukan penganut arsitektur modern dimana "ornament is a crime", bisa-bisa saya dipenjara kalo bilang karya arsitektur saya adalah bagian dari arsitektur modern... he he he.... Kekaguman saya akan karya dan ide FLW secara parsial saya terjemahkan dalam perancangan lay-out dan denah dari setiap bangunan yang saya rancang. Denah dan lay-out yang "form-follow-function", lha terus kalo eksteriornya apa masih boros ornamen? Nggak juga, dalam hal ini saya lebih condong ke arsitektur vernakular dimana ornamen masih diperlukan sesuai fungsi dan mudah ditemui karena bersifat produksi massal dan ornamen juga merupakan suatu perulangan dari budaya atau sejarah. Misalnya; ornamen makutha di atap yang dulunya dibuat secara hand-made dan merupakan ornamen khusus buat rumah dalam kompleks keraton di Jawa, sekarang banyak sekali ditemui di lokasi pembuatan gerabah di Kasongan - Jogjakarta dan beberapa pengerajin atap genteng di Jawa Timur juga sudah mulai mengadopsi ornamen ini.

Kesimpulannya, ide-ide FLW menjadikan suatu filter dan batasan bagi saya untuk tidak kebablasan dalam mendesain. Namun sebagaimana umumnya 'wong Jowo' bukan 'wong Solo' lho ya... saya juga suka yang namanya gado-gado. Sampe desain-pun di-'gado-gado', lha wong enak je....

Saturday, November 18, 2006

Kado untuk Big-Lady

Big-Lady adalah sebutan untuk mobil kesayangan saya, sebuah Mercedes-Benz W123 (di Indonesia dikenal dengan sebutan Mercy Tiger) buatan tahun 1977 warna abu-abu metalik. Big-Lady saya adopsi dari pemiliknya di Bandung pada bulan November 1998. Ada kado istimewa buat Big-Lady di ultahnya yang ke-8.

Ketetapan hati untuk mempertahankan mahligai hubungan bathin dengan Big-lady (wuihhh...) bermula semenjak event Rendesvouz Of The Stars (ROTS) di Semarang bulan September lalu. Di event itu seluruh penggemar Mercedes-benz ngumpul jadi satu mulai dari Jakarta sampe Bali. Mercy dari yg paling tua sampe yg paling baru ada disitu, dan yang bikin nyebelin lagi (tapi suka sihh...) banyak berterabaran 'racun-racun'. Mobil-mobil sebaya Big-lady cuakep-cuakep, cuantik-cuantik, dan suexy-suexy, apalagi yg dari MTC- Jakarta. Bikin horny aja, he he he.....

Setelah pulang dan sampai di Surabaya lagi racun ditambah lagi dengan penawaran pak Arry sang ketua MTC-Jawa Timur dengan body W123 280 tahun 82 yang kumplit sama interiornya dan masih utuh (yah, perlu ngecat dan ngelas disana-sini tapi jauh lebih baik dari kondisi Big-lady saat ini yang sudah terkena kanker kulit stadium 4). Akhirnya jadi dehh.... beliin kado istimewa buat si Big-lady.

Setelah melalui proses 'keracunan' yang cukup 'akut' dan dengan penuh pengorbanan jiwa, raga, moril, dan materil (hallaah opo to yooo...); BISMI-ILLAHI AL-RAHMAAN AL-RAHIIM Proyek restorasi big-lady akhirnya kesampean juga, mudah-mudahan proyek restorasi ini (saya lebih suka menyebutnya 'face-off' seperti yang lagi ngetrend di koran saat ini) berjalan lancar.

Pengennya kalo udah jadi penampilan big lady bisa seperti ini nih:

Sebenernya saya nggak gitu suka sama warna ijo, but I have to try to love it. Karena seluruh interior yang utuh dan orisinil warnanya udah ijo masak cat eksterior musti abu-abu metalik ato item? ya udah ijo ajahh... So, dari beberapa contoh jadi mercy tiger warna ijo ini nggak jelek kok. Vintage european-style, dengan ban white-strip bagus juga. Bumper dipertahankan pake yang type 200 punya, biar gak dikirain penipu. Mosok type 200 mekso pake bumper 280, udah gitu pake tulisan 280E lagi. Kita mah, jujur ajahh (jujur kacang ijo po?... halah...). Grille diganti yang standard aja, gak usah pake yg AMG.

Pengennya ngasih bumper USA buat Big-lady, biar lebih semok dan sexy. Seperti gambar temennya di sebelah. Sama ganti head-lamp USA (yg disebelah masih pake lampu eropa). Tapi yah nabung dulu, yang sabar yah Big-lady... Mudah-mudahan saya bisa beliin buat hadiah ulang tahun yang ke-9 atau 10, Insya Allah...

Thursday, November 16, 2006

Emha Ainun Nadjib : Gusti Allah tidak "ndeso"

BERAGAMA YANG TIDAK KORUPSI

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
"Cak Nun", kata sang penanya, "misalnya pada waktu
bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan,
yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat,
mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin
ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?".
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan".
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" ,
kejar si penanya.
"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu", jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk
surga tidak ngajak-ngajak" , katanya lagi. "Dan lagi belum tentu
Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan
sembahyang sebagai credit point pribadi".

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di masjid, melainkan pada diri orang yang
kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit,
Akulah yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian,
Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan,
Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka
yang manadari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu,
membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran,
menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit,
dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang
tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka,
bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat,
itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang,
tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang
sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya
dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan
hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial,
sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain,
memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu
mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi
dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap.
Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih,
dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran,
pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum
layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan
kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah
orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari
kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya.
Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama
adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain,
meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan
keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan
jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya
ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya,
orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik Vs Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika
Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang
shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti
tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab
singkat, "Ia di neraka". Hadis ini memperlihatkan kepada kita
bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah
ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai
sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di
hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi
keberagamaan dari Gordon W. Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama:
ekstrinsik dan intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama
sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan
demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa,
misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih
keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.
Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak
menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang
memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran
agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya.
Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual
bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki
pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah
penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang
intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih
dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus,
melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas
kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy.
Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri.
Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya
dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap
pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat
politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang
\memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali
dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid'ah dalam
shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam
urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang
melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan
negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001
mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan
1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola,
dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang
memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu,
rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku,
Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa
banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah
(ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit,
kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita
saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang
dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah,
sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit
dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk
upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut
negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang
dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah,
di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari
sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali,
di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena
tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik
mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.