Sunday, November 26, 2006

Frank Lloyd Wright


Frank Lloyd Wright (FLW) merupakan salah seorang pioneer arsitektur modern, lebih tepatnya adalah seorang master dari organic architecture. Istilah modern dalam dunia arsitektur beda dengan istilah modern dalam bahasa sehari-hari. Modern dalam bahasa sehari-hari adalah sesuatu yang terkini dan mutakhir, kategori modern adalah segala hal yang pemunculannya dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir dan beberapa dekade yang akan datang. Sedangkan jauh sebelum itu akan dianggap suatu yang sudah ndak modern lagi alias kuno. Nah, yang namanya arsitektur modern justru dimulai pada tahun 1900-an, sampai kapanpun karya arsitektur yang dimulai pada tahun-tahun tersebut teteup disebut sebagai arsitektur modern. Lha, kalo karya arsitektur yang dibuat 10 tahun terakhir dan tahun-tahun yang akan datang disebutnya opo? Sekarang ini banyak banget style atau trend yang dimunculkan dalam dunia arsitektur, tapi mulai tahun 1950-an mulai diperkenalkan yang namanya post-modernism architecture. Dalam arsitektur modern dimana "ornament is a crime" dengan "form-follow-function"-nya sudah tidak lagi dianut dalam arsitektur post-modern. Disini ornament sudah di-'halal'-kan dan merupakan suatu nilai lebih dan aksen dalam setiap karya arsitektur modern.

Weleh, kok malah mbahas tentang sejarah arsitektur ki piye tho? lha wong tadi maksudnya nulis tentang FLW kok malah mblangkrak kemana-mana. Wis, sekarang saya mau cerita tentang FLW dan karya-nya yang memberikan inspirasi dalam setiap karya-karya arsitektur saya yang sebetulnya ndak seberapa banyak dan juga ndak persis-persis banget sama karya arsitektur FLW. Tapi yang memberikan inspirasi dalam setiap karya FLW adalah bagaimana cara beliau memaksimalkan fungsi ruang, ornamen, dan lingkungan sekitarnya. Seperti karya arsitekturnya yang fenomenal yaitu The Falling Water, dalam karya ini FLW memaksimalkan ruang yang ada dan meminimalkan perusakan tapak atau site.

Terus, opo hubungan-e sama karya arsitektur yang telah dan akan saya buat? Nahh, gini ceritanya; dalam hal desain-mendesain sebetulnya saya ini termasuk orang yang boros akan ornamen. Jadi saya jelas bukan penganut arsitektur modern dimana "ornament is a crime", bisa-bisa saya dipenjara kalo bilang karya arsitektur saya adalah bagian dari arsitektur modern... he he he.... Kekaguman saya akan karya dan ide FLW secara parsial saya terjemahkan dalam perancangan lay-out dan denah dari setiap bangunan yang saya rancang. Denah dan lay-out yang "form-follow-function", lha terus kalo eksteriornya apa masih boros ornamen? Nggak juga, dalam hal ini saya lebih condong ke arsitektur vernakular dimana ornamen masih diperlukan sesuai fungsi dan mudah ditemui karena bersifat produksi massal dan ornamen juga merupakan suatu perulangan dari budaya atau sejarah. Misalnya; ornamen makutha di atap yang dulunya dibuat secara hand-made dan merupakan ornamen khusus buat rumah dalam kompleks keraton di Jawa, sekarang banyak sekali ditemui di lokasi pembuatan gerabah di Kasongan - Jogjakarta dan beberapa pengerajin atap genteng di Jawa Timur juga sudah mulai mengadopsi ornamen ini.

Kesimpulannya, ide-ide FLW menjadikan suatu filter dan batasan bagi saya untuk tidak kebablasan dalam mendesain. Namun sebagaimana umumnya 'wong Jowo' bukan 'wong Solo' lho ya... saya juga suka yang namanya gado-gado. Sampe desain-pun di-'gado-gado', lha wong enak je....

Saturday, November 18, 2006

Kado untuk Big-Lady

Big-Lady adalah sebutan untuk mobil kesayangan saya, sebuah Mercedes-Benz W123 (di Indonesia dikenal dengan sebutan Mercy Tiger) buatan tahun 1977 warna abu-abu metalik. Big-Lady saya adopsi dari pemiliknya di Bandung pada bulan November 1998. Ada kado istimewa buat Big-Lady di ultahnya yang ke-8.

Ketetapan hati untuk mempertahankan mahligai hubungan bathin dengan Big-lady (wuihhh...) bermula semenjak event Rendesvouz Of The Stars (ROTS) di Semarang bulan September lalu. Di event itu seluruh penggemar Mercedes-benz ngumpul jadi satu mulai dari Jakarta sampe Bali. Mercy dari yg paling tua sampe yg paling baru ada disitu, dan yang bikin nyebelin lagi (tapi suka sihh...) banyak berterabaran 'racun-racun'. Mobil-mobil sebaya Big-lady cuakep-cuakep, cuantik-cuantik, dan suexy-suexy, apalagi yg dari MTC- Jakarta. Bikin horny aja, he he he.....

Setelah pulang dan sampai di Surabaya lagi racun ditambah lagi dengan penawaran pak Arry sang ketua MTC-Jawa Timur dengan body W123 280 tahun 82 yang kumplit sama interiornya dan masih utuh (yah, perlu ngecat dan ngelas disana-sini tapi jauh lebih baik dari kondisi Big-lady saat ini yang sudah terkena kanker kulit stadium 4). Akhirnya jadi dehh.... beliin kado istimewa buat si Big-lady.

Setelah melalui proses 'keracunan' yang cukup 'akut' dan dengan penuh pengorbanan jiwa, raga, moril, dan materil (hallaah opo to yooo...); BISMI-ILLAHI AL-RAHMAAN AL-RAHIIM Proyek restorasi big-lady akhirnya kesampean juga, mudah-mudahan proyek restorasi ini (saya lebih suka menyebutnya 'face-off' seperti yang lagi ngetrend di koran saat ini) berjalan lancar.

Pengennya kalo udah jadi penampilan big lady bisa seperti ini nih:

Sebenernya saya nggak gitu suka sama warna ijo, but I have to try to love it. Karena seluruh interior yang utuh dan orisinil warnanya udah ijo masak cat eksterior musti abu-abu metalik ato item? ya udah ijo ajahh... So, dari beberapa contoh jadi mercy tiger warna ijo ini nggak jelek kok. Vintage european-style, dengan ban white-strip bagus juga. Bumper dipertahankan pake yang type 200 punya, biar gak dikirain penipu. Mosok type 200 mekso pake bumper 280, udah gitu pake tulisan 280E lagi. Kita mah, jujur ajahh (jujur kacang ijo po?... halah...). Grille diganti yang standard aja, gak usah pake yg AMG.

Pengennya ngasih bumper USA buat Big-lady, biar lebih semok dan sexy. Seperti gambar temennya di sebelah. Sama ganti head-lamp USA (yg disebelah masih pake lampu eropa). Tapi yah nabung dulu, yang sabar yah Big-lady... Mudah-mudahan saya bisa beliin buat hadiah ulang tahun yang ke-9 atau 10, Insya Allah...

Thursday, November 16, 2006

Emha Ainun Nadjib : Gusti Allah tidak "ndeso"

BERAGAMA YANG TIDAK KORUPSI

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
"Cak Nun", kata sang penanya, "misalnya pada waktu
bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan,
yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat,
mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin
ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?".
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan".
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" ,
kejar si penanya.
"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu", jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk
surga tidak ngajak-ngajak" , katanya lagi. "Dan lagi belum tentu
Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan
sembahyang sebagai credit point pribadi".

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di masjid, melainkan pada diri orang yang
kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit,
Akulah yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian,
Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan,
Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka
yang manadari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu,
membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran,
menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit,
dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang
tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka,
bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat,
itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang,
tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang
sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya
dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan
hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial,
sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain,
memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu
mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi
dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap.
Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih,
dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran,
pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum
layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan
kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah
orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari
kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya.
Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama
adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain,
meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan
keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan
jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya
ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya,
orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik Vs Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika
Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang
shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti
tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab
singkat, "Ia di neraka". Hadis ini memperlihatkan kepada kita
bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah
ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai
sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di
hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi
keberagamaan dari Gordon W. Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama:
ekstrinsik dan intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama
sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan
demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa,
misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih
keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.
Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak
menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang
memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran
agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya.
Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual
bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki
pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah
penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang
intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih
dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus,
melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas
kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy.
Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri.
Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya
dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap
pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat
politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang
\memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali
dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid'ah dalam
shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam
urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang
melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan
negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001
mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan
1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola,
dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang
memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu,
rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku,
Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa
banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah
(ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit,
kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita
saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang
dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah,
sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit
dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk
upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut
negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang
dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah,
di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari
sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali,
di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena
tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik
mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.